Jumat, 15 Desember 2017

My Sensing Boy

Pic taken from here
Ada yang pernah mendengar tentang tes Stifin? Berbeda dengan tes lainnya, cara tes Stifin dengan scan sidik jari. Sounds funny, I know. Awalnya saya juga tidak percaya, tapi ternyata sekolah si Mas menggunakan Stifin dan memberikan tes Stifin gratis untuk both kid and the parents. Tidak hanya itu, ada juga parenting class untuk membahas si Stifin ini. Saya jadinya penasaran, how scientific is it sampai sebuah sekolah mempercayai tes ini untuk dipakai oleh murid-muridnya?

Saya mendapatkan jawabannya saat sesi parenting di sekolah, sesi pertama yang membahas tentang Stifin dengan lebih dalam. Waktu saya menyimak parenting sessionnya, saya belum tahu tipe si Mas maupun mamaknya. Psikolog yang menjadi pembicara membahas ciri-ciri anak-anak pada setiap tipe, and somehow my gut says that he is a Sensing kid. Ciri-cirinya persis banget si Mas, gak bisa diem, cepet banget sama duit (jadi seperti matre), energi besar. Ternyata oh ternyata, benar adanya.  

Based on the test, si Mas bener anak Sensing Extrovert, sedangkan mamaknya Thinking Extrovert. Sama-sama extrovert, yang artinya sama-sama mudah dipengaruhi lingkungan. Bedanya kalau si Sensing gampang banget meniru, si Thinking pakai dipikir dulu secara logis dan rasional sebelum meniru sesuatu. Sebenarnya saya agak ragu sih saya Thinking, karena most of the criteria do not match. Terutama di bagian planning dan detail, yang saya most definitely not strong at

Oh iya, pertanyaan saya tentang how scientific it is juga terjawab di sesi ini. Jadi tes ini melihat bagian otak mana yang paling dominan. Cara mengetahuinya adalah dengan melihat pola yang ada di sidik jari. Somehow some patterns show a stronger part of the brain. Make sense sih dan katanya sudah ada penelitiannya. Baiklah, sounds good to me

Anyway back to the sensing boy. Ever since I found out that he is the sensing type, saya menjadi jauuuh lebih hati-hati dalam berperilaku dan berkata. Pasalnya si anak sensing ini observant banget ternyata, suka mengamati dan meniru apa yang dia lihat. Sudah sensing, extrovert pula, jadi apa yang dia lihat di lingkungannya akan banyak ditiru. That is why lingkungan yang baik menjadi penting banget untuk perkembangan si anak sensing. Untungnya sekolah si Mas islami banget, jadi amanlah hitungannya. Tinggal di rumah harus di maintain tetap positif. 

Another tips that I got from the psychologist, anak sensing seneng lihat sesuatu yang nyata. That is why they like money! Karena uang itu kan nyata, bisa dilihat, bisa dipegang, dan bisa dimanfaatkan untuk beli beli. Jadi katanya the best way to motivate a sensing kid adalah dengan uang. Jreng. Hahahaha.. Mamak harus siap banyak recehan ini mah judulnya :) 

Last but not least, anak sensing is like an Energizer bunny! Tenaganya gak abis-abis. Loncat sana, loncat sini, lari sana, lari sini. Bagi yang kurang paham, sering disangka hiperaktif (ADHD). Padahal sebenarnya bukan attention defisit sih, tapi mereka memang punya energi yang besar, jadi disalurkan melalui aktivitas fisik yang tak henti-henti. So don't expect your sensing kid to sit still and look pretty all the time. They can sit still, but not for long. They learn best through playing, jadi mamaknya harus kreatif cari mainan yang berbobot.      

Sesi parenting kedua yang diadakan sekolah adalah tentang interaksi antara orangtua dan anak sesuai dengan tipenya masing-masing. Ini dia yang saya tunggu, supaya bisa paham pendidikan macam apa yang cocok untuk si Sensing oleh si Thinking. Ternyata katanya mamaknya sifatnya mesti buka jalan alias pasang badan di depan. Anak sensing tidak bisa langsung diceburin, harus didampingi dulu di awal baru dilepas. Ini menjelaskan kenapa dulu waktu pertama kali masuk TK si Mas sempet mogok di awal, karena langsung saya tinggal. Waktu itu belum ngerti Stifin sih Mas, huhuhu.. maaf ya.. 

Kesimpulannya, saya cukup puas sama tes ini untuk mengarahkan how to treat and educate my sensing boy. Walaupun ada beberapa hal yang agak tidak match, tapi mostly cukup make sense dan sesuai kenyataan di lapangan (halah bahasanya). Dan yang penting cukup memuaskan otak Thinking saya yang (katanya) haus akan logika dan rasionalitas. 

#Day2
#ODOPPreMatrik
#MulaiMenulis
#IIPBogor

Sorry seems to be hardest words

Picture taken from here


Sorry seems to be hardest words

Masih ingat dengan lagu ini? Walaupun lagu jadul, tapi esensi (duile.. esensi) dari kata-kata ini bener banget lho. Sorry is indeed the hardest words, because you need to lower your pride in order to say it.

Ternyata kesulitan minta maaf ini berlaku universal, tidak hanya orang dewasa, tapi anak-anak pun demikian. Mengajarkan anak minta maaf ya ampuuuun susahnyaaa.. Tapi kalau tidak diajari sejak kecil,akan semakin sulit kayaknya ya semakin mereka tambah dewasa. Itulah kenapa saya keukeuh banget untuk mengajarkan anak-anak saya untuk saling meminta maaf. No matter how hard it is, no matter how long it takes. Berhubung si mas dan si kakak beda usianya hanya 17 bulan, jadi sepantaran dan sering main bareng (dan sering berantem tentunya).

Jadi kalau ada yang salah, misalnya pukul atau nyubit, wajib hukumnya untuk jabat tangan dan bilang : Mas/Kakak, maafin mas/kakak ya karena …. (sesuai kesalahannya). Hal yang sama juga berlaku kalau anak-anak salah ke saya atau bapaknya, misalnya tidak sengaja membentak. Saat minta maaf, mereka tidak boleh matanya ke mana-mana, harus menatap mata yang lagi dimintain maaf. Seringnya ini masih harus dibantu karena bocah senengnya matanya kemana-mana kalau lagi minta maaf.

Dalam hal minta maaf ini saya sebagai orangtua seringkali harus jadi hakim, siapa yang mesti minta maaf ke siapa. Biasanya anak-anak akan rebutan untuk membela diri, so I need to be very careful in deciding. Biasanya sih supaya aman, saya meminta mereka berdua untuk minta maaf satu sama lain. Misalnya casenya si mas nyubit karena si kakak gangguin, jadi dua-duanya harus minta maaf. Mas minta maaf karena nyubit, kakak minta maaf karena gangguin. Jadi fair, tidak ada favoritism atau  berat sebelah.


Alhamdulillah, makin ke sini saying sorry looks less hard than before. Kalau dulu mesti pakai drama dulu, sekarang sudah less drama. Kalau dulu mesti didikte ngomong apa aja minta maafnya, sekarang sudah tahu mesti ngomong apa. Sesudah minta maaf dua-duanya saya puji dan saya peluk, karena sudah berani minta maaf. Lalu saya jelaskan kesalahan yang mereka perbuat, lalu ingatkan mereka untuk tidak mengulanginya lagi. After that, group hug and a kiss! Yang membuat saya senang adalah, setelah minta maaf mereka bisa langsung bermain berdua lagi sambil ketawa ketiwi. So I hope I’m doing it right, Insya Allah.    


#Day1
#ODOPPreMatrik
#MulaiMenulis
#IIPBogor
 

Pasique's Template by Ipietoon Cute Blog Design